Selamat Datang

Assalaamu'alaikum sahabatku..selamat berkunjung ke blog kami...nikmati dan dapatkan inspirasi dari blog kami :)

Sabtu, 30 Mei 2009

Melawan Kesenjangan Digital

ImageSeorang kenalan saya, Donny B.U. – yang terkenal sebagai jurnalis di detikcom – pernah menuliskan bahwa yang dinamakan kesenjangan digital, alias digital divide, hanyalah merupakan jargon karangan negara-negara barat belaka, untuk melanggengkan penjajahan ekonomi mereka terhadap negara kedua dan ketiga di dunia ini[1]. Beliau melengkapi tulisannya dengan bukti-bukti anekdotal seperti proyek pengadaan komputer di sebuah SMA yang sebenarnya hanya akal-akalan belaka dari pengelola SMA yang bersangkutan, demi bisa membuka satu lagi lab komputer, dan sebagainya. Dan karena Indonesia masih belum bisa memproduksi seluruh komponen komputer di negeri sendiri, banyak devisa yang mengalir keluar Indonesia demi pengadaan komputer ini.

Tapi apakah jargon kesenjangan digital lantas bisa mutlak dianggap sebagai hal yang mengada-ada? Sebuah artikel di Kompas edisi Kamis 5 Maret 2009 di halaman pertama menyebutkan sejumlah murid kelas XII SMA 1 Rongkop, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengalami kebingungan karena tidak bisa mengakses informasi pendaftaran ke perguruan tinggi negeri secara online. Sekolah tersebut memang tidak memiliki komputer, dan warnet terdekat jaraknya adalah 30 km. Informasi mengenai perguruan tinggi negeri hanya diperoleh dari brosur-brosur yang terkadang sudah kadaluarsa, akibatnya sangat sedikit siswa yang berhasil menembus ke perguruan tinggi negeri.

Hal sebaliknya terjadi pada siswa SMA 1 Kediri, salah satu siswanya menyatakan dengan internet, mendaftar ke PTN merupakan proses yang sangat mudah dan tidak repot. Di sekolah tersebut memang sudah tersedia komputer dengan akses internet. Kalau sudah begini situasinya, apakah kita masih mau menafikkan istilah kesenjangan digital?

Senada dengan semangat mengurangi kesenjangan digital, Menteri Komunikasi dan Informatika, Bapak M. Nuh, baru saja menyatakan bahwa pihaknya mendorong penurunan tarif internet tidak sekedar 100 persen, tetapi mencapai 200 persen pada tahun ini[2]. Jika hal ini memang dapat dicapai, dan bukan sekedar iming-iming politik – mengingat sebentar lagi pemilu – ini tentu saja merupakan berita yang sangat menggembirakan. Di tahun 2006 saya pernah mengeluhkan soal rencana pengenaan pajak terhadap akses internet[3], yang jelas sangat absurd karena berlawanan dengan semangat menghapus kesenjangan digital.

Dalam pengumuman pers tanggal 2 Maret 2009[4], ITU (International Telecommunication Union) mendudukkan Indonesia di peringkat 108 dari 154 negara, di bawah Gabon dan di atas Botswana, dalam hal indeks pertumbuhan ICT (Information and Communication Technologies). Indeks pertumbuhan ini menggambarkan posisi Indonesia dalam hal kesenjangan digital, yang oleh ITU Indonesia dimasukkan dalam kategori menengah (ada 4 kategori: tinggi, atas, menengah, dan bawah). Tiga negara paling atas dalam hal indeks pertumbuhan ICT adalah Swedia, Korea, dan Denmark. Lalu dalam hal murahnya biaya ICT (gabungan rata-rata biaya akses telepon sambungan tetap, telepon sambungan bergerak, dan biaya akses internet), negara Singapura, Amerika dan Luxemburg merupakan 3 peringkat pertama yang termurah. Indonesia dalam hal ini menduduki peringkat 90 dari 154 negara.

Penurunan tarif internet bukan berarti lantas kualitas internet ikut turun juga. Bisa dilihat dalam persaingan merebut pelanggan, banyak penyelenggara jasa komunikasi jor-joran menurunkan harga tanpa memperhatikan kapasitas. Sebagai contoh, Telkomsel dengan paket Flash Unlimited-nya sempat mengalami kesulitan akses sebelum akhirnya dilakukan upgrade jaringan. Begitu juga Indosat dengan IM2-nya, saat ini mereka sudah keteteran dalam melayani pelanggan, sampai-sampai mereka menampilkan daftar BTS yang sudah kelebihan kapasitas[5]. Firstmedia dengan Fastnet-nya juga setali tiga uang, terutama untuk paket termurahnya. Namun itulah anehnya Indonesia, walaupun kualitas layanan turun, namun tetap saja masih banyak yang tetap berlangganan.

Terlepas dari apakah ini bisa menghapus kesenjangan digital, penurunan tarif internet tetap merupakan hal yang patut disambut dengan baik, apalagi jika diiringi dengan perbaikan kualitas koneksi internetnya sendiri.

[1] http://bebas.vlsm.org/v17/com/ictwatch/paper/paper056.htm
[2] http://www.antara.co.id/arc/2009/2/19/tarif-internet-turun-200-persen-pada-2009/
[3] http://ryosaeba.wordpress.com/2006/02/23/mahalnya-internet-kami/
[4] http://www.itu.int/newsroom/press_releases/2009/07.html
[5] http://www.indosatm2.com/popup.php/promo/template:im2/id:18/high-traffic-zone

Penulis: Eko Juniarto

0 komentar:

Posting Komentar